Ada dua hal yang termasuk hal-hal yang paling saya takuti dalam hidup. Ketinggian, dan air. Bukan berarti saya takut mandi (cuma sering malas aja). Saya takut menghadapi air yang banyak dan dalam. Sungai, kolam renang dalam, dan laut. Terutama laut. Belajar berenang berkali-kali masih belum bisa menghilangkan rasa takut saya. Saya sampai berpikir apakah mungkin saya pernah punya masa lalu yang berhubungan dengan air dan tenggelam yang tidak saya tahu, saking takutnya.
Dan di Pulau Pasumpahan, Sumatera Barat, saya bertemu keduanya. Tempat tinggi dan laut. Dan keduanya menghadapi saya dengan senyuman jahil.
Berada di pantai barat Kota Padang, sebelah barat Pulau Setan Kecil atau 200 meter dari Pulau Sikuai. Persisnya di perairan Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang. Menuju Pulau Pasumpahan bisa memakai speedboat sekitar 35 menit. Bila ingin langsung menuju Pulau Pasumpahan Kota Padang dapat menyewa perahu nelayan dari Pelabuhan Teluk Bayur.
Ada legenda rakyat yang menemani pulau ini. Adalah seorang anak bernama Boko yang hidup serba kekurangan bersama ibundanya. Boko kemudian memutuskan untuk pergi merantau. Dengan kerja kerasnya yang luar biasa, dia berhasil mengubah hidupnya menjadi berkelimpahan.
Dalam perjalanannya, suatu hari ia singgah di sebuah daratan. Yang tidak dia sadari karena begitu lama dia pergi, daratan itu adalah kampung halamannya. Ibunya yang telah lama menunggu kepulangan puteranya, melihat kedatangan Boko dan mengenali anaknya. Sayangnya tidak demikian dengan Boko.
Boko bersikeras bahwa perempuan tua yang menghampirinya bukanlah ibunya. Dia naik kembali ke kapal untuk melanjutkan perjalanan. Sang ibu yang merindukan anaknya mengejar naik ke atas kapal kemudian memeluknya. Boko, entah mengapa, tetap tidak mengakui sang ibu.
Tidak lama kemudian badai menghantam laut. Kapal pecah berserakan. Ibu Boko terombang-ambing di lautan. Sakit hati dan amarah yang bergolak atas penolakan anaknya, sang ibu bersumpah dan berdoa agar Boko diberi hukuman.
Sumpah sang ibu terdengar oleh para penumpang, melawan badai. Para penumpang yang terombang-ambing termasuk Boko, berteriak memohon agar sumpah dihentikan dan doa ditarik kembali. Apa yang sudah terucap, tak bisa ditelan lagi.
Ketika badai reda, terbentuklah sebuah daratan besar yang kemudian diberi nama Pulau Pasumpahan yang dipercaya merupakan tempat ibunda Boko mengucapkan sumpahnya.
Pulau ini mempunyai pemandangan yang sangat indah sekali. Hamparan pasir di sepanjang pantai Pasumpahan yang disertai deburan ombak menjadi daya tarik utama pantai ini. Ada berbagai kegiatan yang bisa dilakukan di sini, misalnya snorkeling, berenang, berkemah, menyelam, maupun trekking.
Saya mengikuti kegiatan yang terakhir yang pada proses naik dan turun saya setengah mati menahan diri untuk tidak menyumpah-nyumpah :))
Saya tidak menyukai ketinggian. Tapi saya lebih tidak menyukai ditinggal teman-teman yang lain memanjat (iya, memanjat) bukit menuju puncak pulau. Walhasil saya menghabiskan hampir setengah jam untuk menaiki bukit yang jalurnya curam (cukup curam hingga kita perlu bantuan tali yang dipasang di sana untuk bisa naik). Tantangan pertama adalah dinding batu dengan kemiringan mendekati 90 derajat (atau mungkin saya aja yang lebay).
Dibantu dengan dua utas tali lentur di kiri dan kanan batu, setiap pendakian hanya boleh dilakukan oleh 3 orang sekali jalan. Sulit? Tergantung. Yang belum pernah bersapa dengan alam, mungkin akan bilang sulit.
Saya? Saya bilang itu sulit :)) Ya maap anak kota, biasa manjat tangga semen dan tangga jalan ketemu dinding batu. Saya memilih menunggu tali selesai digunakan pemanjat sebelumnya, baru saya naik. Pertimbangan saya, malesin juga kalau pemanjat di atas saya tau-tau berubah arah sementara tujuan saya gak searah dengan dia. Nanti jadi gak seimbang megang talinya. Dinding batu selesai, trekking selesai? I wish :)))
Ketemu lagi dengan jalur tanah kering berkerikil dengan kemiringan lebih landai, tapi tetap butuh tali buat pegangan. Dan yang bikin saya senewen, ketemu pohon tumbang di mana kita harus merunduk melewatinya, atau melompatinya sekalian. OKESIP.
Jalur kedua selesai. Perjalanan… belum selesai dong ah. Di titik foto di bawah ini saya menyerah. Terserah yang lain mau ke mana ngapain saya mau duduk manis aja di sana, pikir saya.
Tapi ya dasar teman seperjalanan kompor terbakar semua, mereka membujuk saya buat naik terus. Dan sebagai yang gampang terbujuk, saya… lanjut. Sambil dalam hati ngomel kenapa saya gampang dikomporin *emot roll eyes di sini*
Tapi sungguh saya gak menyesal sih kehabisan napas dan tenaga, perjalanan tadi terbayar lunas ketika tiba di puncak. Pemandangan luar biasa menanti di sana.
Keren ya. Banget. Sejauh mata memandang, yang saya lihat adalah kecantikan negeri Indonesia. Dalam hati saya mendendangkan lagu ini:
Sungguh indah tanah air beta
Tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
Bagi bangsa yang memujanya
Indonesia ibu pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi
Sekitar 15 menit saya di sana, lalu saya memutuskan untuk turun. Sadar diri bahwa proses saya turun pasti akan lambat dan merepotkan yang lain kalau barengan. Salah satu guide kami, Abeng, menemani saya turun.
Proses naik, “hanya” ditemani rasa lelah. Lelah menjalani treknya dan lelah melihat trek lanjutan yang harus dilalui. Proses turun, adalah proses di mana saya berhadapan dengan ketakutan saya sendiri. Ketinggian. Tidak mudah menatap ke bawah dan menyadari bahwa HEEEY TINGGI LOH INI YAA :)) Tidak mudah menjejakkan kaki dan berpikir, satu langkah salah, habis saya ngegelinding.
Untung kesabaran Abeng, sayang saya lupa ambil foto dia – cakep padahal (HEY FOKUS NIT), tampak tiada batasnya. Dia membimbing saya langkah demi langkah. Kadang pasang tangan buat saya jadikan pijakan dan pegangan hidup. Dia mengingatkan saya tidak perlu terburu-buru. That we have all the time in the world. Duh, Abeng aku padamu.
Berkali-kali saya berhenti. Napas. Dia mengambil beberapa foto muka eungap saya pakai kameranya, nampaknya buat barang bukti perjalanan :))
Sebenarnya bukan tenaga yang terlalu jadi masalah. It was the fear itself. Gara-gara takut saya jadi ngebayangin yang nggak-nggak. Ngebayangin nyerosot lah. Jatuh lah. Terpleset lah. It stopped me from using my common sense and good judgement. Saat masih ada pilihan lain yang bisa diambil, saya akan memilih jalan lain. Tapi di atas sini, tak ada jalan lain. Dan di hadapan saya adalah satu-satunya jalan yang bisa saya tempuh untuk turun.
Jadilah langkah demi langkah saya turun. Menyemangati diri saya sendiri. Dan cukup bersyukur saya mengambil keputusan untuk turun duluan, biar gak terintimidasi antrian :))
Kalau naik saya butuh 15 menit. Turun saya butuh sekitar setengah jam. Iyaaa saya semenyedihkan ituuu :))
Long story short, saya lega luar biasa ketika menjejakkan kaki di pasir pantai lagi. Proses menghadapi ketakutan selesai. Dan ternyata, alhamdulillah, saya selamat. HORE!
Di bawah kami disambut dengan potongan semangka nan segar. Kayaknya saya makan 5 potong sendiri. Ya maap, enak :’)
Sisa kunjungan dihabiskan rombongan dengan berfoto, berenang dan snorkeling. Saya leyeh-leyeh aja menikmati angin sepoi di kursi pantai.
Cantik sekali ya pulau ini dan pemandangan sekelilingnya :’)
Awalnya kami berencana berpindah ke pulau-pulau lain, namun karena dikejar waktu, kami memutuskan untuk menikmati Pulau Pasumpahan ini saja.
Jam 2 siang awan mulai mendung. Kami disarankan untuk kembali ke Padang agar tidak tertahan di pulau karena hujan. Dan di perjalanan pulang lah saya berhadapan dengan ketakutan saya yang kedua.
Laut.
But that is another story for another day. Di bagian kedua aja saya ceritanya ya 😉
PS: Beberapa cerita tentang pulau ini bisa ditemukan di blog rekan-rekan seperjalanan saya:
Winny Marlina: Ada Pulau cantik Pasumpahan di Padang, Sumatera Barat
Yuki Anggia: Dahulu dan Kini badai Menerjang di Pulau Pasumpahan
Info Sumbar: Indahnya Pulau Pasumpahan Bisa Kamu Nikmati Dengan 5 Kegiatan Seru Ini
Photo credit: me and Him
aku kapan diajakin piknik? 😐
Sering! Dalam angan :’)
Me and Him nya keren banget..
Kesannya anonim padahal emang namanya Him ya :)))
Yaaaa Allah … Kenapa ada foto gw yg cengok ngak jelas itu yaaaa.
Btw sejujurnya aku suka ama tempat ini, tapi … Ya sudahlah
Sebagai bukti perjuangan Cuuum :)) Tapi apa gimana?
aku selalu mengingat adegan cumi numpang …. di perahu, mungkin karena itu kita diterjang ombak, hahaha…
Aduh itu epik sangat :))))
ih keren banget, ah kalau aku bisa ke sana ya, mupeng jadinya
Semoga bisa segera berkunjung ke sana ya 🙂
wiiiii…keren tempatnya ya Mba……..tapi sedihnya itu ya naik2 bukit itu…